JAKARTA, 5 Desember 2025 – Dominasi konten video pendek di platform media sosial telah menciptakan ekosistem micro-content viewing yang secara fundamental mengubah cara publik mengonsumsi dan memaknai pengetahuan. Fenomena ini tidak hanya mengarah pada brain rot, tetapi juga memicu runtuhnya otoritas kepakaran, menciptakan keyakinan semu, dan memperburuk kualitas diskursus publik.
BACA JUGA : Prakiraan BMKG: Jakarta Berpotensi Hujan Sedang di Siang Hari, Warga Diimbau Waspada Genangan
Ekosistem Digital dan Ilusi Kompetensi Instan
Konsumsi konten singkat yang intensif mendorong lahirnya ilusi kompetensi instan. Masyarakat modern cenderung merasa telah memahami isu-isu kompleks, seperti ekonomi makro, kesehatan publik, atau sains, hanya dari potongan video berdurasi 15-60 detik, tanpa merujuk pada data ilmiah, laporan, atau referensi memadai.
Kondisi ini diperparah oleh:
- Filter Bubble: Algoritma platform secara otomatis membatasi paparan pengguna pada informasi yang sesuai dengan minat dan preferensi mereka. Pengguna terkurung dalam ‘gelembung’ informasi sempit, meminimalkan paparan terhadap opini objektif dan berbeda. Hal ini memperkuat bias kognitif dan menciptakan polarisasi.
- Algorithmic Viewing Loop: Desain platform dibuat adiktif, memprioritaskan keterlibatan (views, likes, dislikes) di atas akurasi, kebenaran, dan landasan ilmiah. Dalam lingkaran ini, batas antara opini, hiburan, hoaks, dan konten ilmiah menjadi kabur.
Akibatnya, otoritas ahli dapat dengan mudah dianggap tidak lebih penting dibanding narasi 15 detik yang viral dan terdengar meyakinkan, memunculkan pakar “jadi-jadian” yang memengaruhi opini publik.
Fenomena Doomscrolling dan Dampak Psikologis
Konsumsi konten pendek yang didorong algoritma juga melahirkan kebiasaan doomscrolling—menggulir konten terus-menerus tanpa henti. Kebiasaan ini seringkali sulit dihentikan dan kerap menyajikan konten yang tanpa isi, tidak bermanfaat, bahkan memicu kecemasan.
Seperti yang disoroti dalam studi sebelumnya, konsumsi media yang intensif ini dikaitkan dengan masalah kognitif, penurunan rentang perhatian, serta peningkatan gejala depresi dan kecemasan.
Ilusi Digital dan Risiko Kejahatan Siber
Laporan Kaspersky berjudul “The digital illusion: millennials and the risks of online trust” (7/3/2025) menganalisis fenomena Ilusi Digital, terutama di kalangan generasi Milenial sebagai “penduduk asli digital.”
Ilusi digital adalah kondisi ketika seseorang merasa sudah tahu, aman, pintar, atau benar, hanya karena melihat sesuatu di internet, meskipun hal itu tidak sesuai fakta. Keyakinan berlebihan ini menimbulkan beberapa risiko:
- Abaikan Keamanan Siber: Merasa “ahli” karena terbiasa menggunakan teknologi, padahal mereka tidak pernah belajar keamanan digital secara sistematis. Paradoks ini menciptakan celah yang dieksploitasi pelaku kejahatan siber.
- Rentan Penipuan: Sebanyak 70 persen Milenial dilaporkan jarang memverifikasi identitas lawan komunikasi daring mereka, membuat mereka sangat rentan terhadap insiden digital, pelanggaran hukum, dan kejahatan siber.
- Kesetaraan Hubungan: Ilusi digital juga menciptakan pandangan keliru bahwa hubungan online memiliki kekuatan dan keandalan yang sama dengan hubungan nyata, yang mengarah pada kepercayaan berlebihan tanpa verifikasi yang memadai.
Runtuhnya Kepakaran Menurut Tom Nichols
Pemikiran terkenal Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise memberikan analisis mendalam mengenai krisis ini. Nichols berpendapat bahwa penolakan masyarakat terhadap pendapat para ahli diperburuk oleh beberapa faktor:
- Akses Informasi Berlebihan: Internet yang terlalu terbuka membuat masyarakat terpapar banjir informasi, memicu keyakinan kesetaraan intelektual keliru di mana setiap orang merasa pendapatnya sama benarnya dengan pendapat ahli.
- Komodifikasi Pendidikan: Kampus yang makin mirip layanan pelanggan membuat proses intelektual yang sulit dan mendalam cenderung dihindari.
- Media sebagai Hiburan: Media yang bertransformasi menjadi hiburan non-stop 24 jam mengorbankan kedalaman analisis demi sensasi.
Dalam ruang publik yang didominasi populisme dan teori konspirasi, argumen berbasis keahlian sering dituduh sebagai sikap elitis atau anti-demokrasi. Hal ini menyebabkan kualitas diskursus publik merosot, di mana ide dan gagasan yang tidak berakar pada kebenaran ilmiah menuntut diperlakukan sama pentingnya.
Tantangan terbesar saat ini adalah memulihkan kembali penghargaan terhadap kedalaman berpikir, proses intelektual, dan kebenaran hakiki di tengah dunia yang mendewakan viralitas tanpa kualitas.

