Hukum Ziarah ke Makam Wali sebagai Wisata Religi: Tinjauan Syariat dan Kontroversi Safar
Nasional

Hukum Ziarah ke Makam Wali sebagai Wisata Religi: Tinjauan Syariat dan Kontroversi Safar

Jakarta – Ziarah ke makam para wali, khususnya makam Wali Songo yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara, telah lama menjadi tradisi dan berkembang menjadi bentuk wisata religi yang diminati masyarakat Indonesia. Aktivitas ini sering dijadikan sarana untuk mengenang jasa para tokoh penyebar Islam, memperdalam keimanan, dan mencari pengalaman spiritual. Namun, muncul perdebatan serius mengenai hukum melakukan perjalanan jauh (safar) khusus untuk tujuan ziarah dalam perspektif Islam.

Hukum Dasar Ziarah Kubur dalam Islam

Secara umum, ajaran Islam tidak hanya membolehkan tetapi juga menganjurkan (sunnah) praktik ziarah kubur. Tujuan utama dari anjuran ini adalah untuk mengingatkan peziarah akan kematian dan pentingnya mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.

Anjuran ini didukung oleh sabda Nabi Muhammad SAW:

زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ

Artinya: “Lakukanlah ziarah kubur karena hal itu lebih mengingatkan kalian pada akhirat (kematian).” (HR. Muslim no. 976).

Oleh karena itu, ziarah yang dibenarkan adalah yang berorientasi pada peningkatan kesadaran akan akhirat.

Kontroversi Safar (Perjalanan Jauh) Khusus untuk Ziarah

Perbedaan pendapat muncul ketika ziarah kubur tersebut dilakukan dengan menempuh perjalanan jauh (safar) secara sengaja dan khusus.

Menurut pandangan yang dipegang oleh sebagian ulama, seperti yang diulas dalam Majalah Asy-Syariah, ziarah kubur hanya diperbolehkan jika dilakukan di lokasi setempat dan tidak memerlukan perjalanan jauh. Melakukan safar secara khusus untuk tujuan ziarah kubur dianggap tidak dibolehkan (bid’ah tercela) karena tidak pernah dicontohkan oleh kaum salaf (generasi terdahulu yang saleh).

Dasar pelarangan safar khusus ini merujuk pada hadits Nabi Muhammad SAW:

وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ، إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى وَمَسْجِدِي

Artinya: “Dan jangan mengencangkan pelana (melakukan perjalanan jauh) kecuali untuk mengunjungi tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan Masjidku (Masjid Nabawi).” (HR Bukhari).

Makna hadits tersebut dipahami bahwa tidak diperbolehkan melakukan perjalanan khusus menuju tempat mana pun yang dianggap memiliki keutamaan tertentu untuk tujuan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, kecuali ketiga masjid utama tersebut.

Pentingnya Meluruskan Niat dalam Wisata Religi

Terlepas dari perbedaan pandangan mengenai hukum safar, kunci utama dalam praktik wisata religi ke makam wali adalah penataan niat.

  1. Niat Non-Ibadah (Sejarah): Jika niat utama perjalanan adalah semata-mata untuk mempelajari sejarah para wali, mengenang perjuangan dakwah mereka di Nusantara, atau melihat jejak peninggalan budaya Islam, hal ini diperbolehkan. Tujuannya adalah mengambil teladan kesabaran dan kebijaksanaan mereka dalam menyebarkan ajaran Islam untuk perbaikan akhlak diri.
  2. Menghindari Kemusyrikan: Buya Yahya, dalam penjelasannya di YouTube Al-Bahjah TV, menekankan pentingnya menjaga niat agar tidak terjerumus pada praktik kemusyrikan atau mengkultuskan para wali.

Prinsip fundamental dalam Islam adalah bahwa doa dan permohonan hajat harus dipanjatkan langsung kepada Allah SWT. Mengunjungi makam wali kemudian memohon atau bermunajat langsung kepada wali yang telah meninggal agar hajat dikabulkan adalah praktik yang keliru dan tidak dibenarkan dalam akidah Islam.

Menurut Buya Yahya, jika seseorang memiliki hajat saat berziarah, doanya tetap ditujukan kepada Allah SWT dengan bertawasul (membawa perantara) melalui amal saleh pribadi atau melalui keberkahan orang saleh (wali) yang dicintai Allah. Permintaan dan tujuan apa pun tetap harus diarahkan hanya kepada Allah, karena Dialah satu-satunya Dzat yang berhak dimintai pertolongan dan pengabul hajat.