Jeratan Calo dan Penipuan: Skandal SDUWHV Renggut Mimpi Ribuan Anak Muda Indonesia
Internasional

Jeratan Calo dan Penipuan: Skandal SDUWHV Renggut Mimpi Ribuan Anak Muda Indonesia

Program Work and Holiday Visa (WHV) Australia, yang sangat diminati oleh anak muda Indonesia, kini dinodai oleh praktik calo, penipuan, dan dugaan kecurangan sistem. Persaingan untuk mendapatkan Surat Dukungan Untuk Work and Holiday Visa (SDUWHV) dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Indonesia, yang hanya memiliki kuota 5.000 per tahun, telah melahirkan praktik ilegal yang merugikan pemohon yang jujur.

Laporan yang diterima menunjukkan adanya perantara yang mengklaim memiliki akses ke petugas imigrasi dan menjanjikan penerbitan SDUWHV dengan biaya fantastis, mencapai hingga Rp 60 juta, padahal surat dukungan ini seharusnya tidak dipungut biaya resmi.

BACA JUGA : Perancis Siaga Penuh: Drone Misterius Terdeteksi Terbang di Pangkalan Kapal Selam Nuklir

Modus Operandi Calo dan Praktik War yang Bermasalah

Antusiasme tinggi terhadap WHV melahirkan istilah ‘war’ (perang) untuk menggambarkan persaingan ketat dalam mengakses sistem pendaftaran SDUWHV. Namun, sistem war ini disinyalir tidak transparan dan mudah dimanipulasi.

Agus (bukan nama sebenarnya), salah satu pemuda yang gagal mendapatkan SDUWHV meskipun telah menabung keras untuk memenuhi syarat kepemilikan tabungan minimum A$5.000 (sekitar Rp 55 juta), menceritakan pengalaman pahitnya. Setelah sistem pendaftaran (war) down pada 15 Oktober, ia didekati oleh seorang terduga calo.

Calo tersebut awalnya meminta Rp 60 juta, kemudian menurunkannya menjadi Rp 45 juta. Yang lebih mengkhawatirkan, terduga calo ini mengklaim bahwa:

  • Hanya sekitar 40% dari kuota SDUWHV yang benar-benar diperebutkan melalui war.
  • Sebagian besar kuota telah “disetel” atau disediakan untuk mereka yang membayar sejumlah uang.

“Dia cuma bilang, ‘untuk apa kamu war? Itu sudah disetel itu semuanya, sudah kayak tes polisi lah, sudah ada nama-namanya’,” ujar Agus, yang merasa dikhianati oleh negaranya sendiri.

Korban Penipuan dan Pemalsuan Dokumen

Bukan hanya calo, penipu (scammer) juga aktif memanfaatkan situasi ini. Linda (nama samaran) menceritakan bahwa ia membayar Rp 20 juta kepada “agen” untuk mendapatkan SDUWHV tahun lalu. Akibatnya, pada Januari, ia menerima surat penolakan dari Kementerian Dalam Negeri Australia dengan alasan “memberikan dokumen palsu.”

Korban penipuan lain juga mengaku diancam dan dilecehkan secara verbal saat mencoba mengonfrontasi penipu. “Kami diancam supaya tidak melapor ke polisi kalau ingin uang kami kembali,” kata salah satu korban. Kasus Linda menunjukkan bahwa menggunakan jasa ilegal tidak hanya merugikan finansial, tetapi juga merusak peluang aplikasi visa di masa depan.

Tuntutan Perbaikan Sistem dan Keterlibatan DPR

Kegagalan sistem war yang berujung pada kerugian massal ini memicu pengaduan resmi lebih dari 3.000 orang kepada Ditjen Imigrasi dan berujung pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XIII DPR.

I Dewa Nyoman Rai, salah satu penggerak demo dan peserta RDP, mengungkapkan kejanggalan sistem:

  • Pada hari pertama war (15 Oktober), kuota baru terisi 80 orang.
  • Dua hari kemudian (17 Oktober), meskipun tombol permohonan tidak muncul dan situs tidak dapat diakses hingga sore, tiba-tiba kuota sudah terisi hingga 4.700.
  • Dewa mengklaim bahwa akses ke tahap pengisian formulir hanya diberikan kepada mereka yang memiliki “undangan” melalui email dari Imigrasi.

Anggota DPR, Sugiat Santoso, mengkritik keras sistem war tersebut, menyatakan bahwa kebijakan negara tidak boleh dihasilkan dari “undian cepat-cepatan.” Ia melihat dua kemungkinan kegagalan: IT Imigrasi yang tidak memadai atau kuota yang gampang dijualbelikan karena tidak ada pengawasan sistemik.

Sementara itu, Kepala Direktorat Jenderal Imigrasi, Yuldi Yusman, membantah tuduhan adanya calo di departemennya dan berjanji akan melakukan pemeriksaan internal.

Seruan Agar Australia Ambil Alih Proses Visa

Melihat masalah yang berlarut-larut, anggota DPR Mafirion mendesak agar tahun depan Indonesia tidak perlu dilibatkan sama sekali.

“Kita minta Kedutaan Australia saja yang langsung melaksanakan,” katanya. “Biarkan seperti mengurus visa ke Australia pada umumnya saja, teman-teman mendaftar semua ke (Kedubes Australia) sana, yang layak dan tidak layak [diputuskan] menurut mereka.”

Alan Gamlen, pakar migrasi dari Australian National University, menjelaskan bahwa mewajibkan SDUWHV secara efektif mendelegasikan tahap pertama penyaringan kepada Indonesia. Hal ini signifikan menghemat waktu dan sumber daya Australia, mengingat tingginya permintaan dari Indonesia.

Departemen Dalam Negeri Australia, melalui juru bicaranya, menyatakan bahwa mereka menanggapi tuduhan pelanggaran dengan serius dan bekerja sama dengan Ditjen Imigrasi Indonesia untuk mendorong pelaporan penipuan. Departemen juga menyatakan akan memantau aktivitas peserta WHV untuk menilai apakah perubahan proses sesuai untuk negara mitra, termasuk Indonesia.