Pedagang thrifting (penjualan pakaian bekas impor) di Pasar Senen, Jakarta Pusat, menyuarakan protes dan keresahan mereka secara langsung kepada Menteri Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman, dalam kunjungan yang turut didampingi Anggota Komisi V DPR RI, Adian Napitupulu, pada Minggu (30/11/2025).
Para pedagang khawatir kebijakan larangan impor pakaian bekas yang diwacanakan pemerintah akan mematikan usaha mereka, yang telah menjadi sumber penghidupan utama bagi ribuan keluarga.
BACA JUGA : Kebakaran di RS Pengayoman Cipinang Berhasil Dipadamkan, 28 Pasien Selamat Dievakuasi
Protes Langsung dan Klaim Kontribusi Negara
Saat Menteri Maman melewati kios-kios, sejumlah pedagang berupaya mencegat dan berinteraksi langsung. Mereka mengungkapkan kekecewaan dengan mengangkat potongan kardus berisi pesan protes yang tajam.
“Thrifting Juga UMKM! Jangan Ditutup, Kami Pedagang Kecil!” bunyi tulisan di salah satu kardus, yang disuarakan keras oleh pedagang.
Para pedagang berargumen bahwa mereka juga merupakan bagian dari kontributor ekonomi lokal, termasuk membayar pajak. “Tolong Pak Menteri, kami pedagang baju bekas juga bayar pajak,” seru salah satu pedagang. Teriakan-teriakan lain pun bersahutan meminta agar usaha mereka tidak dianggap ilegal dan dimatikan.
Salah satu pedagang, Alfi (47), menyuarakan kekhawatiran matinya usaha kecil jika keran impor ditutup total. Alfi mengaku was-was dan merasa usahanya dilakukan secara resmi dan legal, termasuk membayar sewa kios dan listrik.
“Kalau ini ditutup, mati (usaha) kita, Mas. Kita di sini kan bukan maling, kita dagang. Bayar sewa kios, bayar listrik, resmi semua kita di sini,” keluhnya.
Kisah Alfi: Transisi dari Produk Lokal ke Thrifting Sebagai Penyelamat
Alfi membagikan pengalaman pribadinya, di mana ia pernah menjual produk lokal, seperti kaus dari Bandung, sebelum beralih ke thrifting impor. Ia terpaksa beralih pasca-pandemi karena tekanan ekonomi yang hebat.
“Orang lagi susah makan pas pandemi, kayaknya enggak mikirin beli baju baru harga ratusan ribu. Di situ saya pusing, sampai hampir bangkrut itu saya,” ungkap Alfi.
Ia kemudian mempelajari sistem penjualan thrift dari rekan-rekannya. Transisi ke thrifting impor menjadi penyelamat finansialnya karena modal yang dibutuhkan relatif lebih rendah namun dapat menghasilkan stok barang yang banyak. “Jujur aja, ini yang nyelamatin lah. Orang punya duit Rp 50.000 sudah bisa dapet baju bagus, bermerek. Kalau beli baru kan enggak dapet segitu,” jelasnya.
Bantahan Mematikan Produk Lokal
Alfi juga mengungkapkan rasa sakit hatinya jika usaha mereka dianggap sebagai biang keladi matinya produk lokal oleh pemerintah atau masyarakat. “Kadang sakit hati dibilang kita matiin produk lokal. Lah, kan kita juga orang lokal,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah tidak memandang pedagang thrifting sebagai musuh atau ilegal. Bahkan, para pedagang mengaku siap untuk dipajaki, asalkan dalam jumlah yang wajar. “Kalau mau dipajakin mah berat, tapi ya asal wajar. Yang penting jangan ditutup aja,” tegas Alfi.
Respons Menteri Maman: Prioritas Mencari Nafkah
Menanggapi protes keras dari para pedagang, Menteri Maman Abdurrahman memberikan respons yang hati-hati namun empatik. Ia mengakui dilema yang dihadapi pemerintah.
“Di satu sisi, saya harus menyampaikan apa adanya dulu. Di satu sisi memang secara aturan, kita dilarang mengimpor barang-barang bekas. Ini secara aturannya dulu, real-nya begitu,” ujar Maman kepada wartawan di lokasi.
Namun, di sisi lain, Maman menegaskan pemerintah tidak bisa menutup mata terhadap nasib pedagang yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas ini. Maman menekankan bahwa prioritas utamanya saat ini adalah memastikan pedagang tetap bisa mencari nafkah sembari mencari formulasi kebijakan yang tepat. Ia menambahkan, isu utama dalam polemik ini memang terletak pada barang impor, bukan barang bekas lokal.



