Phnom Penh, 14 Desember 2025 — Hubungan antara Kamboja dan Thailand mencapai titik didih baru menyusul eskalasi konflik bersenjata yang telah merenggut puluhan nyawa. Pada Sabtu (13/12/2025), Kamboja mengambil langkah drastis dengan mengumumkan penutupan penuh seluruh perbatasannya dengan Thailand.
Keputusan tegas Phnom Penh ini diambil hanya beberapa jam setelah Bangkok membantah keras klaim yang dilontarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenai telah tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara kedua negara.
“Semua pergerakan masuk dan keluar di seluruh perbatasan Kamboja-Thailand ditangguhkan sementara,” demikian pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri Kamboja, dikutip dari kantor berita AFP.
Konflik Perbatasan Menghasilkan 500.000 Pengungsi
Konflik antara dua negara tetangga ASEAN ini berakar dari sengketa demarkasi perbatasan sepanjang 800 kilometer yang merupakan warisan dari era kolonial. Dalam sepekan terakhir, situasi memburuk drastis, dengan laporan setidaknya 25 orang tewas, termasuk empat tentara Thailand yang gugur pada hari Sabtu.
Dampak kemanusiaan dari pertempuran ini sangat parah, menyebabkan sekitar 500.000 orang terpaksa mengungsi dari wilayah konflik di kedua sisi perbatasan. Masing-masing pihak, baik Thailand maupun Kamboja, terus saling menuding sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pemicu eskalasi kekerasan terbaru.
Klaim Trump Dibantah PM Thailand
Di tengah ketegangan yang memuncak, Presiden AS Donald Trump pada Jumat (12/12/2025) sempat mengumumkan kabar yang dianggap sebagai terobosan diplomatik. Melalui platform Truth Social, Trump mengklaim telah berkomunikasi dengan Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul dan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet.
“Mereka sepakat untuk MENGHENTIKAN semua penembakan mulai malam ini, dan kembali ke Perjanjian Perdamaian asli,” tulis Trump.
Namun, klaim tersebut langsung dibantah tegas oleh PM Thailand, Anutin Charnvirakul. Anutin, yang merupakan Ketua ASEAN saat ini, mengatakan kepada wartawan bahwa tidak ada pembahasan sama sekali mengenai gencatan senjata dalam percakapan teleponnya dengan Trump. “Beliau tidak menyebutkan soal gencatan senjata,” ujar Anutin.
Keterangan Anutin ini menguatkan skeptisisme publik. Sebelumnya, gencatan senjata yang dimediasi oleh AS, China, dan Malaysia selaku Ketua ASEAN pada Juli lalu, yang sempat meredam gelombang kekerasan, juga berakhir gagal.
Ketidakpercayaan di Kalangan Korban
Kegagalan upaya damai dan bantahan dari Bangkok semakin meningkatkan ketidakpercayaan di kalangan pengungsi.
“Saya tidak lagi memercayai Kamboja,” kata Kanyapat Saopria (39), seorang pengungsi Thailand, kepada AFP. “Upaya perdamaian sebelumnya gagal. Saya tak tahu apakah yang ini akan berhasil.”
Sentimen serupa diungkapkan Vy Rina (43), pengungsi asal Kamboja: “Saya sedih karena pertempuran belum berhenti meskipun ada intervensi Trump. Saya tidak senang dengan tindakan brutal,” katanya.
Laporan dari kamp pengungsian Buri Ram, Thailand, menunjukkan bahwa baku tembak di perbatasan masih berlangsung. Korban sipil terus berjatuhan; militer Thailand melaporkan enam warganya terluka akibat serangan roket dari Kamboja, sementara Menteri Informasi Kamboja Neth Pheaktra menuduh pasukan Thailand menyerang infrastruktur dan warga sipil Kamboja.
Angkatan Laut Thailand bahkan mengklaim telah menghancurkan dua jembatan milik Kamboja yang diduga digunakan untuk memasok senjata ke garis depan konflik.
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim turut mendesak kedua pihak untuk menghentikan permusuhan dan menahan diri dari aksi militer lebih lanjut. Namun, PM Thailand Anutin bertekad melanjutkan operasi militer hingga situasi benar-benar aman, sementara PM Kamboja Hun Manet menegaskan negaranya tetap mengedepankan jalan damai meskipun menutup perbatasan.



