Kemarahan Komisi IV DPR dalam Rapat Banjir Sumatera: Titiek Soeharto Desak Hentikan Penebangan Liar dan Legal
Nasional

Kemarahan Komisi IV DPR dalam Rapat Banjir Sumatera: Titiek Soeharto Desak Hentikan Penebangan Liar dan Legal

JAKARTA, 5 Desember 2025 – Bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera memicu ketegangan dalam rapat kerja antara Komisi IV DPR RI dan Kementerian Kehutanan. Ketua Komisi IV DPR RI, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, secara terbuka mengungkapkan kegeraman dan meminta penghentian total terhadap praktik penebangan pohon yang dinilai memperparah dampak bencana.

Dalam rapat yang dihadiri Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni di Gedung DPR RI, Kamis (4/12/2025), Titiek Soeharto mendesak adanya ketegasan luar biasa dari pemerintah.

“Intinya, kami minta kepada Kementerian Kehutanan untuk menghentikan segala pemotongan pohon, illegal logging, baik legal maupun ilegal yang nyata-nyata merugikan masyarakat,” tegas politikus Partai Gerindra tersebut.

BACA JUGA : Solidaritas Nasional Menguat: Mendagri Desak Pemda Gunakan BTT, Bantuan Mulai Mengalir ke Sumatera

Pemandangan Truk Kayu yang Menyulut Amarah

Kemarahan Titiek Soeharto memuncak saat ia meminta tim sekretariat memutar video yang menunjukkan truk-truk pengangkut kayu gelondongan melintas di jalan raya, hanya berselang dua hari setelah bencana banjir bandang terjadi.

Titiek menyebut pemandangan tersebut sebagai tindakan yang menyakitkan dan menghina rakyat yang sedang tertimpa musibah.

“Truk itu lewat di jalan raya dua hari setelah peristiwa banjir itu. Sungguh menyakitkan banget itu,” kata Titiek. “Perusahaan ini ngejek gitu loh. Baru di sana kena bencana, dia lewat bawa kayu. Ini suatu kayak menyakitkan dan menghina rakyat Indonesia.”

Ia juga mempertanyakan logika di balik pemotongan pohon-pohon besar yang membutuhkan puluhan hingga ratusan tahun untuk tumbuh, hanya untuk keuntungan segelintir pihak yang tidak memberikan manfaat kepada masyarakat.

Desakan Pengetatan Izin dan Jaminan Dukungan Hukum

Komisi IV DPR RI menekankan dua tuntutan utama kepada Kementerian Kehutanan:

  1. Kajian Ulang AMDAL: Pemerintah diminta tidak sembarangan menerbitkan izin pembukaan lahan, baik untuk perkebunan maupun pertambangan. Pengetatan harus dilakukan melalui kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat.
  2. Tindak Tegas Pelanggar: Titiek menjamin bahwa Komisi IV akan mendukung penuh langkah hukum terhadap pihak-pihak yang melanggar, tanpa gentar menghadapi bekingan dari aparat keamanan. “Enggak usah takut apakah itu di belakangnya ada (jenderal TNI maupun Polri) bintang-bintang, mau bintang dua, tiga, atau berapa, itu kami mendukung Kementerian supaya ditindak dan tidak terjadi lagi,” pungkasnya.

Respons Menteri Kehutanan: Janji Reformasi dan Pencabutan Izin

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengakui bahwa bencana di Sumatera menjadi pukulan telak yang mendesak perbaikan total tata kelola hutan.

“Peristiwa ini juga melecut saya sebagai pimpinan dan jajaran pimpinan di Kementerian Kehutanan untuk berefleksi,” ujar Raja Juli. Ia berjanji akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola hutan (forest governance) untuk memitigasi bencana serupa di masa mendatang.

Komitmen dan Klaim Kemenhut:

  • Moratorium Izin Baru: Raja Juli mengklaim bahwa selama satu tahun menjabat, ia tidak pernah menerbitkan izin baru untuk Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (PBPH) penebangan hutan alam.
  • Pencabutan Izin: Pihaknya berencana mencabut izin sekitar 20 perusahaan PBPH yang dinilai bekerja buruk, mencakup lahan seluas lebih kurang 750.000 hektar. Nama-nama perusahaan tersebut akan diumumkan setelah mendapat arahan langsung dari Presiden Prabowo Subianto.
  • Klaim Deforestasi Menurun: Dalam paparannya, Raja Juli mengklaim bahwa deforestasi menurun secara nasional sebesar 23,01 persen pada tahun 2025 (hingga September), atau sebesar 49.700 hektar dibandingkan tahun 2024. Penurunan serupa juga diklaim terjadi di Aceh (10,04%), Sumatera Utara (13,98%), dan Sumatera Barat (14%).

Meskipun deforestasi diklaim menurun, Raja Juli mengakui adanya kombinasi faktor—termasuk siklon tropis, curah hujan tinggi, dan kerusakan pada Daerah Tangkapan Air (DTA)—yang berperan memperparah bencana.

Raja Juli menegaskan bahwa ia tidak alergi terhadap kritik, bahkan memandang kemarahan publik sebagai energi yang akan mendorong perubahan dan partisipasi yang lebih produktif.