Jakarta – Tahun 2025 menjadi periode yang dinamis bagi industri kebugaran di Indonesia. Tren olahraga tidak hanya didominasi oleh upaya pencapaian kesehatan, tetapi juga diwarnai oleh fenomena unik sosial dan digital. Berikut adalah rangkuman lima tren kebugaran yang paling banyak dibicarakan dan menjadi viral sepanjang tahun ini.
Baca Juga : Dukungan Pemerintah: Kementerian PANRB Perkuat BNN untuk Akselerasi Program P4GN dan Digitalisasi
1. Joki Strava: Ketika Prestasi Digital Lebih Penting
Salah satu fenomena paling kontroversial dan viral di tahun 2025 adalah munculnya layanan Joki Strava. Layanan ini menawarkan solusi bagi individu yang ingin memiliki statistik lari impresif di aplikasi Strava tanpa harus berlari sendiri.
Para penyedia jasa ini akan berlari menggunakan akun pelanggan, menciptakan rekor waktu dan jarak yang tampak luar biasa. Fenomena ini mencerminkan betapa pentingnya pengakuan digital dan media sosial dalam ekosistem olahraga saat ini.
Niko (21), seorang mahasiswa yang menawarkan jasa ‘open joki Strava’, mengungkapkan tarifnya bervariasi. “Kalau pace di bawah 5 kena biaya 6–7 ribu per kilometer. Kalau pace di atas 5 kena biaya 5 ribu per kilometer,” jelas Niko. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan lari memengaruhi harga jasa.
2. Fear of Missing Out (FOMO) Marathon
Antusiasme terhadap olahraga lari mencapai puncaknya di tahun 2025, dengan maraknya event lari marathon, mulai dari 5K, 10K, hingga full marathon (42,195 km). Peningkatan popularitas ini dipicu salah satunya oleh liputan media saat selebritas seperti Raffi Ahmad mengikuti Tokyo Marathon 2024.
Meskipun memotivasi, fenomena FOMO Marathon berpotensi menjadi bumerang. Banyak pehobi yang terdorong menjajal kategori jarak jauh tanpa persiapan yang memadai, sehingga meningkatkan risiko cedera.
Namun, persiapan matang tetap menjadi kunci. Fachri (26), seorang karyawan swasta di Jakarta Selatan, membagikan pengalamannya setelah menyelesaikan virgin marathon-nya dengan waktu impresif 4 jam 36 menit. “Untuk programnya sih aku biasain long run, kaya lebih dari 10 kilo,” kata Fachri. Ia menambahkan, penting untuk “mendengarkan tubuh” dan tidak memaksakan intensitas lari.
3. Olahraga dan Romansa: Cinlok di Komunitas Kebugaran
Komunitas olahraga, khususnya lari, kian menjamur di kota-kota besar. Olahraga kini tidak hanya dipandang sebagai ajang mencari kesehatan, tetapi juga ruang interaksi sosial, bahkan sarana mencari pasangan (cinlok atau cinta lokasi).
Laporan dari aplikasi pelacak aktivitas Strava mencatat tren ini. Hasil survei mereka menunjukkan adanya peningkatan “cinlok” di antara anggota grup kebugaran. Setidaknya, satu dari lima Gen Z yang disurvei mengaku pernah berkencan dengan seseorang yang mereka kenal melalui kelompok aktivitas kebugaran.
4. “Demam” Padel: Olahraga dengan Biaya Tinggi
Olahraga Padel, yang berasal dari Meksiko, mengalami lonjakan popularitas yang luar biasa di tahun 2025, memicu para pebisnis untuk berinvestasi dalam pembangunan lapangan. Padel sempat dicap sebagai olahraga “kalangan atas” karena biaya sewanya yang relatif tinggi.
Di Jakarta, harga sewa lapangan Padel bervariasi, mulai dari Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu per jam, belum termasuk biaya sewa raket dan bola. Ivan Wijaya, Co-Founder komunitas Rich Padel di Jakarta, menyebutkan bahwa iuran patungan satu member untuk sekali bermain bisa mencapai ratusan ribu. “Rentangnya di Rp 185 sampai Rp 230 ribu. Tergantung [lokasi] lapangan dan game apa yang kami mainin,” kata Ivan.
Meskipun mahal, daya tarik Padel sebagai sarana sosialisasi dan gaya hidup membuat anggotanya tetap aktif.
5. Poundfit: Kardio dan Katarsis Melalui “Berisik”
Poundfit tetap populer di tahun 2025 berkat konsepnya yang unik, yakni menggabungkan elemen kardio dan pilates dengan penggunaan ripstix (stik drum). Ciri khas yang paling menonjol dari Poundfit adalah suara-suara “berisik” yang dihasilkan dari pukulan ripstix ke lantai dan teriakan peserta.
Andini Fira (25), seorang instruktur Poundfit di Jakarta, menjelaskan bahwa branding olahraga ini adalah “Rockout, Workout,” yang memang menekankan suara keras. Ia menjelaskan bahwa teriakan yang muncul memiliki fungsi psikologis. “Sebenarnya teriak itu untuk menyalurkan emosi. Kayak misalnya ‘gue capek kerja, dari Poundfit gue bisa teriak nih’,” ujar Andini. Menurutnya, hal ini adalah cara untuk menyalurkan emosi, membuat sesi lebih seru, dan meningkatkan keterlibatan peserta.


