Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol, secara mengejutkan mengumumkan pemberlakuan keadaan Darurat Militer (Martial Law) pada Selasa (2/12/2024) malam waktu setempat. Ini adalah kali pertama Darurat Militer dideklarasikan di Korea Selatan dalam hampir 50 tahun, memicu kekhawatiran besar di dalam negeri maupun komunitas internasional mengenai masa depan demokrasi negara tersebut.
Dalam pengumumannya, Presiden Yoon mengklaim langkah ini diperlukan untuk “membangun kembali negara yang bebas dan demokratis.” Mengutip Al Jazeera, Yoon secara eksplisit menuduh pihak oposisi melakukan tindakan yang melawan negara.
“Untuk melindungi Korea Selatan yang liberal dari ancaman yang ditimbulkan oleh pasukan komunis Korea Utara dan untuk melenyapkan elemen-elemen antinegara. Saya dengan ini menyatakan darurat militer,” jelas Suk-yeol.
BACA JUGA : Darurat Nasional Lithuania: Balon Rokok Penyelundup Dari Belarus Lumpuhkan Bandara NATO
š Memahami Darurat Militer (Martial Law)
Dikutip dari Sky News, Martial Law merujuk pada pemberlakuan kekuasaan sementara oleh militer, yang umumnya diterapkan dalam situasi ekstrem seperti perang, pemberontakan sipil, atau bencana alam besar.
Dalam kondisi ini, komandan militer diberikan kewenangan yang tak terbatas untuk:
- Membuat dan menegakkan hukum baru.
- Menangguhkan semua hukum sipil yang berlaku, termasuk hak-hak sipil fundamental.
- Menerapkan penggunaan hukum militer kepada warga sipil.
Langkah drastis ini biasanya diambil ketika otoritas sipil dinilai tidak mampu lagi berfungsi dengan baik. Meskipun idealnya bersifat sementara, Darurat Militer dapat berlanjut tanpa batas waktu, seperti contoh di Ukraina setelah invasi besar-besaran Rusia.
āļø Latar Belakang dan Konflik Politik Internal
Keputusan mendadak Presiden Yoon ini dinilai oleh banyak pihak sebagai puncak dari kebuntuan politik yang terjadi selama dua tahun masa pemerintahannya. Langkah Martial Law ini diambil setelah ia berjuang keras mendorong agendanya di parlemen yang didominasi oleh oposisi, khususnya Partai Demokrat.
Tindakan tersebut dipicu oleh beberapa konflik kunci:
- Sengketa Anggaran: Para menteri pemerintah memprotes keras rencana Partai Demokrat untuk memangkas anggaran pemerintah tahun 2025 lebih dari 4 triliun won Korea Selatan, yang dianggap merusak fungsi penting administrasi pemerintahan.
- Skandal Personal: Yoon juga menolak seruan pihak oposisi untuk penyelidikan independen atas skandal yang melibatkan istrinya dan sejumlah pejabat tinggi pemerintah.
Beberapa pihak menilai bahwa penerapan Darurat Militer ini merupakan upaya gegabah oleh Yoon untuk menggagalkan lawan politiknya dan memaksakan agendanya tanpa persetujuan legislatif.
šļø Reaksi Publik dan Parlemen: Pembatalan Darurat Militer
Pengumuman Martial Law ini mengejutkan dan membuat warga Korea Selatan berada dalam kebingungan selama sekitar enam jam. Ribuan masyarakat segera turun ke jalan, berkumpul di luar gedung parlemen untuk melakukan unjuk rasa dan menyerukan penangkapan presiden.
Namun, sistem demokrasi Korea Selatan menunjukkan ketahanannya. Pihak oposisi segera berkumpul di gedung parlemen dan berhasil mengumpulkan jumlah suara yang diperlukan untuk menolak deklarasi Darurat Militer tersebut.
Berdasarkan hukum Korea Selatan:
- Pemerintah harus mencabut Darurat Militer apabila mayoritas parlemen menuntutnya melalui pemungutan suara.
- Hukum yang sama juga melarang komando Darurat Militer untuk menangkap anggota parlemen yang sedang bertugas.
Dengan kekuatan parlemen yang menolak, upaya pengambilalihan oleh militer tidak terwujud. Para ahli berpendapat bahwa tindakan gegabah Presiden Yoon ini berpotensi merusak reputasi jangka panjang Korea Selatan sebagai negara demokrasi yang stabil.



