JAKARTA, 4 Desember 2025 – Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara nonaktif, Wahyu Gunawan, dinyatakan terbukti bersalah dan divonis 11,5 tahun penjara dalam kasus suap terkait penanganan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO). Majelis hakim menilai peran Wahyu sebagai ‘makelar kasus’ telah mencederai semangat Reformasi 1998 yang menuntut peradilan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Vonis ini dibacakan oleh majelis hakim yang diketuai Effendi, dengan hakim anggota Adek Nurhadi dan Andi Saputra, dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (3/12/2025).
BACA JUGA : Ironi Kamboja: Mengapa WNI Terus Berbondong-bondong Datang di Tengah Ancaman Scam dan TPPO?
Peran Sentral dan Gaya Hidup Hedon Panitera
Hakim adhoc Andi Saputra secara tegas menyoroti kontradiksi antara usia kerja Wahyu Gunawan pasca-Reformasi dengan tindakannya.
“Terdakwa Wahyu Gunawan malah berbuat sebaliknya, yaitu mengkhianati perjuangan Reformasi ’98 dengan menjadi makelar kasus atau makelar perkara dan bergaya hidup hedon,” ujar Hakim Andi Saputra.
Wahyu dinilai menjadi pintu masuk bagi pihak korporasi untuk memengaruhi majelis hakim. Kedekatan Wahyu dengan Muhammad Arif Nuryanta (Wakil Ketua PN Jakarta Pusat) yang sering menghabiskan waktu bermain golf bersama, bahkan hingga ke Malaysia dan Dubai, Uni Emirat Arab, menjadi kunci dalam skema suap ini.
Kronologi Peran Wahyu dalam Pengaturan Putusan
Peran Wahyu Gunawan dalam kasus ini bersifat aktif dan berkelanjutan:
- Akses Awal: Setelah kasus CPO bergulir di PN Jakarta Pusat pada awal 2024, pengacara pihak korporasi, Ariyanto Bakri, menghubungi Wahyu untuk mencari kenalan yang dapat “mengatur” perkara.
- Penghubung Kunci: Wahyu memperkenalkan Ariyanto kepada Arif Nuryanta.
- Upaya Pengaruhi Eksepsi: Wahyu mencoba memengaruhi Ketua Majelis Hakim, Djuyamto, agar mengabulkan eksepsi korporasi, meskipun upaya ini gagal.
- Eksekutor Skema Vonis Lepas: Setelah kegagalan eksepsi, skema dilanjutkan dengan mengejar vonis lepas (ontslag). Wahyu berperan rutin dalam menyusun pertemuan dan menjadi pihak pertama yang menerima uang suap.
- Penerimaan Uang Suap: Wahyu Gunawan menerima uang sebesar 2.500.000 Dolar AS yang bersumber dari pihak yang berperkara. Setelah mengambil bagiannya, Wahyu meneruskan uang tersebut kepada Arif Nuryanta untuk dibagikan kepada majelis hakim.
Setelah uang suap diserahkan, Majelis Hakim (Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom) menjatuhkan vonis lepas kepada tiga korporasi CPO, sesuai permintaan pemberi suap.
Ancaman Hukuman dan Uang Pengganti
Wahyu Gunawan, bersama terdakwa lain, diyakini melanggar Pasal 6 Ayat (2) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Berikut rincian vonis bagi para terdakwa:
| Terdakwa | Jabatan | Vonis Penjara | Denda | Uang Suap Diterima (Estimasi) |
| Wahyu Gunawan | Panitera Muda Nonaktif | 11,5 Tahun | Rp 500 Juta Subsider 6 Bulan | Setara Rp 2,3 miliar |
| Djuyamto | Hakim Ketua Nonaktif | 11 Tahun | Rp 500 Juta Subsider 6 Bulan | Sekitar Rp 9,2 miliar |
| Agam S. Baharudin | Hakim Anggota Nonaktif | 11 Tahun | Rp 500 Juta Subsider 6 Bulan | Sekitar Rp 6,4 miliar |
| Ali Muhtarom | Hakim Anggota Nonaktif | 11 Tahun | Rp 500 Juta Subsider 6 Bulan | Sekitar Rp 6,4 miliar |
| Arif Nuryanta | Wakil Ketua PN Nonaktif | 12,5 Tahun | Rp 500 Juta Subsider 6 Bulan | Sekitar Rp 14,7 miliar |
Secara khusus, Wahyu Gunawan diwajibkan membayar uang pengganti setara jumlah suap yang diterimanya. Jika ia tidak mampu melunasi uang pengganti dan hartanya tidak mencukupi, maka ia dijatuhi hukuman tambahan 4 tahun penjara.
Citra Peradilan di Mata Internasional Tercoreng
Hakim Anggota Andi Saputra menambahkan bahwa perbuatan Wahyu dan seluruh terdakwa telah mencoreng citra peradilan Indonesia, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di mata dunia internasional. Mengingat Wilmar Group berinduk perusahaan di Singapura, kasus ini mendapat sorotan luas dari perusahaan multinasional dan masyarakat global, yang menimbulkan sentimen negatif terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Menanggapi putusan tersebut, baik seluruh terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan sikap pikir-pikir terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengajukan banding atau menerima vonis.



